.::lafaz yang tersimpan (khas buat ayahanda dan bonda tercinta)::.

renungkanlah..^_^

Thursday, December 18, 2008

HATI MUKMIN PASTI MENANGIS

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jeneral
Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap
banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu melintasi di hadapan
mereka. Kerana kalau tidak, sepatu 'boot keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di
wajah mereka.

Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara
yang amat ia benci.

"Hai... hentikan suara jelekmu! Hentikan... !" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi? Laki-laki dikamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto
bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup
untuk satu orang. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya
tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan
rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.

Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka...
Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai
ustaz... InsyaALlah tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah
memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang
tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa
yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam
kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang
seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau
mahu minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam
dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai
kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera
menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku
termasuk manusia yang amat bodoh."

Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu
terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku
baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha memungutnya.
Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto.

"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustaz
dengan tatapan menghina pada Roberto.

Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat
dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah. Suara gemeretak
tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu
malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih
puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua
itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul
buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.

"Ah... seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini."

Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga
puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah
mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah
bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras
mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar
kembali dalam ingatan Roberto.

Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat
kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat
pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-
ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab
(jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka gelantungan tertiup angin
petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.

Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya
karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh para rahib. Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan
tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap.
Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap
sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan kanak - kanak itu mendekati tubuh sang ummi
yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya.

Sang anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah
ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa... .? Ummi, cepat pulang ke
rumah ummi... "

Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung
dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu
berteriak memanggil bapaknya, "Abi... Abi... Abi... " Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa
ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai... siapa kamu?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak tersebut. "Saya Ahmad Izzah,
sedang menunggu Ummi... " jawabnya memohon belas kasih.

"Hah... siapa namamu budak, cuba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah... " dia
kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba, Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil.

"Hai budak... ! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan
nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang
buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.

Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu
membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka. Roberto sedar
dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju
penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia
menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeria, "Abi... Abi... Abi... "

Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa
lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik
bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul
ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusat. Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat
tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini.

Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku
masih ingat alif, ba, ta, tha... " Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya. Sang ustaz segera
membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia
masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya.

"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu... " Terdengar suara
Roberto meminta belas. Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air
matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa
dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.


Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak
saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy.
Belajarlah engkau di negeri itu,"

Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu
anla IllaahailALlah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah... '.

Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, Islam,
sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru
berguru dengannya...