.::lafaz yang tersimpan (khas buat ayahanda dan bonda tercinta)::.

renungkanlah..^_^

Thursday, December 18, 2008

HATI MUKMIN PASTI MENANGIS

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jeneral
Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap
banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu melintasi di hadapan
mereka. Kerana kalau tidak, sepatu 'boot keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di
wajah mereka.

Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara
yang amat ia benci.

"Hai... hentikan suara jelekmu! Hentikan... !" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi? Laki-laki dikamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto
bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup
untuk satu orang. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya
tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan
rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.

Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka...
Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai
ustaz... InsyaALlah tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah
memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang
tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa
yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam
kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang
seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau
mahu minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam
dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai
kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera
menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku
termasuk manusia yang amat bodoh."

Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu
terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku
baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha memungutnya.
Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto.

"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustaz
dengan tatapan menghina pada Roberto.

Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat
dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah. Suara gemeretak
tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu
malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih
puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua
itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul
buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.

"Ah... seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini."

Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga
puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah
mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah
bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras
mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar
kembali dalam ingatan Roberto.

Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat
kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat
pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-
ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab
(jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka gelantungan tertiup angin
petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.

Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya
karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh para rahib. Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan
tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap.
Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap
sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan kanak - kanak itu mendekati tubuh sang ummi
yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya.

Sang anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah
ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa... .? Ummi, cepat pulang ke
rumah ummi... "

Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung
dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu
berteriak memanggil bapaknya, "Abi... Abi... Abi... " Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa
ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai... siapa kamu?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak tersebut. "Saya Ahmad Izzah,
sedang menunggu Ummi... " jawabnya memohon belas kasih.

"Hah... siapa namamu budak, cuba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah... " dia
kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba, Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil.

"Hai budak... ! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan
nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang
buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.

Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu
membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka. Roberto sedar
dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju
penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia
menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeria, "Abi... Abi... Abi... "

Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa
lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik
bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul
ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusat. Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat
tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini.

Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku
masih ingat alif, ba, ta, tha... " Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya. Sang ustaz segera
membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia
masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya.

"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu... " Terdengar suara
Roberto meminta belas. Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air
matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa
dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.


Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak
saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy.
Belajarlah engkau di negeri itu,"

Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu
anla IllaahailALlah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah... '.

Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, Islam,
sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru
berguru dengannya...

KUALA LUMPUR IMPIANKU

Digosok-gosok lagi matanya. Dia seakan-akan tidak percaya apa yang dilihatnya. Apakah aku kembali ke zaman unta, ke zaman kolot dan purba? Begitulah detik hatinya. Dikesat hidungnya yang berair dengan kertas tisu. Kertas itu kemudiannya dicampakkannya ke tepi jalan.

"Assalamualaikum, pakcik.. tolong kutip kertas itu. Nanti pakcik rugi di Akhirat. Kebersihan itu separuh daripada iman." Bunyi satu suara di belakangnya. Ia bingkas berpaling. Siapa berani menegurku? Aku Datuk Dr.Johar, orang besar negara ini.

"Pakcik, biarlah saya tolong kutip,sebelum Penguatkuasa Iman dan Islam datang. Nanti didendanya pakcik," kata budak kecil berpakaian putih dengan serban yang melilit kepalanya. Datuk Dr. Johar membetulkan tali lehernya.

Ah, kalau dia datang biar aku sogok dengan duit ini. Siapa yang tak kelabu tengok duit merah, biru berlapis-lapis. Namun, Datuk Dr. Johar terus hairan. Bangunan pencakar langit dengan wajah pembangunan yang sofistikated. Ada helikopter bersimpang -siur bergerak di udara. Railbus bercerakah ke sana sini. Bullet train

"Ah, di mana aku sekarang ini?" gerutu hati Datuk Dr.Johar. "Hoi budak, Aku di mana sekarang ?" soalnya kepada budak yang menegurnya tadi. Budak itu tersenyum. Mukanya cerah dan indah. Tenang dan bersuara lunak. Apakah ini Aladin, budak Arab dengan lampu ajaibnya: teka-teki itu terus menerjah kepala dan kotak fikir Datuk Dr. Johar. Budak itu membuka mulut hendak menjawab. Belum sempat, tiba-tiba datang sebuah kereta jenis Ferrari, merah dan bercahaya. Keluar dua orang lelaki dengan pakaian yang hebat dan segak. Serban mereka berwarna hitam berjalur biru.

"Assalamualaikum....Maaf, pakcik. Kami terpaksa mendenda pakcik. Kesalahan membuang sampah ini sudah belasan tahun tidak berlaku di Darul Taqwa ini. Kami terpaksa mendenda pakcik. Kebersihan itu lambang iman. Negara ini menitikberatkan iman. Pakcik didenda, 30 kali subhanallah, 30 kali astaghfirullah dan selawat 100 kali." Kata pegawai penguatkuasa itu dengan lembut.

Datuk Dr. Johar tersentak. Apa namanya undang-undang ini. Tak ada dewan bandaraya di seluruh pelusuk dunia mengamalkannya. Dia tercengang-cengang. Namun egonya membumbung tinggi. Apa ? Dia nak marahkan aku ? " Ni duit lima ratus. Saya tak mahu buat apa yang kamu minta. Kita selesaikan di sini saja. Berapa gaji yang kamu dapat sebulan ? " tanyanya angkuh. "Pakcik, kita bekerja kerana Allah, bukan kerana gaji. Lagipun duit bukan ada harga lagi di zaman ini. Semuanya dipandang sebagai alat, bukan matlamat," kata pegawai berjanggut dan berjambang itu dengan tenang.

"Oh, oh .... Maafkan kami, pakcik. Kami nak tanya sikit, kenapa pakcik pakai pakaian zaman dulu?Mana pakcik dapat pakaian macam itu ?" Tanya pegawai itu pula. Aku yang gila, atau dia yang gila? Detak hati Datuk Dr. Johar. Dia berjalan ke arah kereta Ferrari yang berkilat itu. Melalui cerminnya dia nampak perawakannya dengan jelas. Tak ada yang salah. Tali leher, kemeja dan kotnya masih kemas dan segak. Daripada jenama yang mahal pula -Pierre Cardin. Kasutnya hitam berkilat daripada jenis Bally. Ah! Aku masih unggul. Lelaki tampan, lambang status dan kejayaan. Dia yang kolot, dia yang ketinggalan zaman.

"Anak muda, pakaian pakcik ni pakaian pemimpin. Pakcik orang besar di negara ini. Pakcik dah keliling dunia dengan pakaian ni. "

"Pakcik, itu pakaian puluhan tahun yang lampau. Ketika Islam belum berdaulat di Darul Taqwa ni. Moyang-moyang kami dulu saja yang pertahankan pakaian macam itu. Itu pakaian orang kuno di Barat. Sekarang, kami hanya dapat lihat gambar-gambarnya saja. Itupun dalam buku sejarah zaman peralihan Islam. Orang Barat zaman moden ini dah berpakaian macam yang kami pakai. Tak ada orang yang pakai macam tu kecuali orang-orang bukan Islam yang dijamin kebebasannya dalam sebuah negara Islam seperti Darul Taqwa."

Datuk Dr. Johar termanggu-manggu kebingungan. "Dimana aku sebenarnya ni?" Dia bertanya lagi kepada pegawai penguatkuasa dan budak kecil di tepi jalan. Dia masih kenal, Ini Jalan Chow Kit di tengah bandar Kuala Lumpur. Masih ada Masjid Pakistan dan Masjid Kampung Baru di sebelah sana. Tetapi itu sahaja, yang lain tak ada.


"Pakcik di bandar Mutmainnah. Ini jalan Mujahadah,namanya. Saya Haji Din,Pegawai Penguatkuasa Iman dan Islam. Diberi amanah untuk memastikan kebersihan lahir batin bandar ini."

"Apa? Bandaraya Kuala Lumpur dah jadi Bandaraya Mutmainnah? Jalan Chow Kit dah jadi jalan Mujahadah? Apa dia mutmainnah? Apa dia mujahadah tu? Apa yang terjadi ni?" Soalan-soalan itu terus menyerang benak Datuk Dr.Johar.

"Pakcik, kami rayu pakcik membayar denda tadi. Kalau tak boleh sekarang, lepas sembahyang nanti pakcik laksanakanlah. Demi kebaikan pakcik dunia dan Akhirat."

Tiba-tiba terdengar suara orang memberi salam dari jauh. Nyaring dan jelas. Seorang lelaki pertengahan umur berlari kepada seorang pegawai penguatkuasa. "Tuan, hukumlah saya. Saya mengumpat tadi. Ya Allah ! seksa Neraka amat pedih..Tolonglah, tuan. Hukum saya di dunia sebelum saya dihukum di Akhirat!" rayu lelaki itu. Pegawai tadi berpaling ke arah lelaki yang baru datang, dan kesempatan itu diambil oleh Datuk Dr. Johar. Dia lari sekuat-kuat hati. Peliknya mereka tidak mengejarnya. Ia terlepas....Lega...

Dahaga dan lapar mula menggigit tekak dan perutnya. Dia mesti makan. Dia perlu minum.Tapi di mana? Tiba-tiba ia terdengar suara komputer dari sound system di tepi-tepi jalan : "Assalamualaikum, kepada seluruh penduduk Kota Mutmainnah. Syed Al-Abrar, hartawan besar berada di Jalan Uwais Al Qarni merayu fakir miskin supaya sudi menerima sedekahnya. Hari ini ia menjamu nasi dan minuman. Sila datang!"

Datuk Dr. Johar orang besar Darul Ghurur itu tidak akan mencemar duli menagih nasi. Dia ada duit, mampu membelinya sendiri. Dia pun masuk ke sebuah restoran di tepi jalan. Di situ penuh dengan pelanggan. Semuanya berserban dan berjubah. Matanya tak betah lagi melihat semua itu. Tapi kerana lapar ia masuk juga.

"Maaf tuan, itu pintu masuk untuk wanita. Di sini untuk lelaki."

"Ceh! Diskriminasi, doubel-standard, lelaki dipisahkan daripada perempuan." Mukanya dicemekkan kepada tuan kedai yang menegurnya.

"Ada restoran lain yang mengamalkan persamaan taraf antara lelaki dan perempuan? Saya tak suka pemisahan-pemisahan macam ni!" Lelaki itu tersenyum. "Empat puluh tahun yang lalu adalah. Sekarang ni kita sudah bebas dan merdeka. Zaman penjajahan fikiran dan jiwa sudah berlalu. Tak ada diskriminasi wanita di sini, tuan. Amir Muhammad, pemimpin Darul Taqwa telah menaikkan taraf wanita tanpa Women's Libs. Kalau tuan ada isteri dan membawanya bersama, sila masuk ke sana. Di sana ada tempat khusus untuk makan bersama isteri dan anak perempuan," terangnya. Mukanya jernih. Serban dan jubahnya serba putih.

"Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Sistem pemerintahan kapitalis, sosialis, nasionalis malah komunis sekalipun tak macam ni..."

"Masya-Allah pakcik, jangan disebut lagi nama-nama ideologi tu. Semuanya telah termaktub sebagai ajaran-ajaran sesat dalam perlembagaan Darul Taqwa ini. Tak ada orang lagi yang berpegang dengan fahaman jahiliyyah tu... Subhanallah...." Keluh tuan restoran itu sambil mengurut-ngurut dadanya. Ekor serbannya bergoyang-goyang ketika ia manggeleng -gelengkan kepalanya. Ah! Persetankan semua itu. Perut aku lapar. Datuk Dr. Johar pun duduk.

"Nasi beriani sepinggan!" ujarnya kepada pelayan. "Dalam pinggan, tuan?" tanya pelayan itu kehairanan. "Ya ! Apa peliknya?"

"Baik,tuan. Tapi semua orang berebut-rebut pahala makan berjamaah. Tuan makan seorang ?" tanya pelayan berkulit hitam itu.

Dia tambah geram. Direnung ke hadapan, iaitu keempat orang yang sedang menikmati makanan. Tidak ada meja makan hanya hamparan permaidani tebal dengan dulang-dulang indah yang tersusun rapi. Mereka makan satu dulang. Yek! Jijiknya. Ah! Aku tetap aku. Aku ada pendirian! Nasi beriani dengan ayam goreng kegemarannya terhidang di atas kain putih khas.

"Jemput makan dengan nama Allah yang memberi rezeki," kata pelayan itu dengan sopan. Datuk Dr.Johar makan dengan seleranya. Dewan makan itu berhawa dingin lengkap dengan alat TV dan pita videonya sekali. Dia makan seorang diri bagai kera sumbang.

" Ya Allah,apa musibah yang menimpa ana Subuh tadi. Ana masbuk dalam sembahyang jemaah Subuh, "ujar seorang lelaki muda dengan wajah yang kecewa. Suapnya perlahan. Macam tak lalu makan saja.

"Anta tak cuba tampung dengan amal makruf yang lain ?" tanya sahabatnya di sebelah. Dia nampak simpati. Datuk Dr. Johar pasang telinga saja.

"Ana nak sedekahkan lima ribu ringgit ....Malang nasib ana. Ana tunggu lima jam di tepi jalan tadi, seorang pun tak mahu terima sedekah ana" Keluhnya.

"Susah kita sekarang. Orang miskin yang bolot pahala redha, pahala sabar. Mereka patutnya bantulah kita. Tolonglah terima sedekah kita. Ah, susahnya jadi orang kaya macam kita ini. Dahlah nanti di Akhirat banyak hisabnya, di dunia orang tak sudi pula terima sedekah kita, keluh seorang yang sama-sama makan dengan lelaki muda tadi.

"Kalaulah kita hidup zaman moyang kita dulu, kan dapat kita korbankan harta yang banyak ini. Saya pun dapat harta ni melalui warisan daripada bapa, yang diwarisi oleh datuk saya daripada moyangnya. Kita tunggulah bila kerajaan nak bangunkan projek negara atau nak gunakan duit untuk kemaskinikan kementerian-kementeriannya.... Saya nak labur habis-habisan. Biar jadi saham Akhirat," kata pemuda itu menutup perbualan. Mereka pun makan dengan perlahan-lahan. Datuk Dr.Johar makin pelik.

"Tambah nasi sepinggan lagi!" ujarnya kepada pelayan restoran. "Demi kesihatan tuan, saya nasihatkan....Berhentilah sebelum kenyang. Maaf tuan saya terpaksa mengatakan demikian. Saya pelayan kedai merangkap pegawai perubatan ....," kata pelayan itu lagi. "Apa? Awak pegawai perubatan? Seorang doktor ke? Kelulusan luar negeri atau dalam negeri? Awak sepatutnya bertugas di hospital, bukan di restoran!" bentaknya. Marah campur geram.

"Tuan, mana ada hospital sekarang.Yang ada khusus untuk bayi, kanak-kanak dan wanita, juga para mubaligh dan mujahid yang cedera ketika berjuang. Tuan, kalau tuan amalkan makan hanya bila lapar dan berhenti sebelum kenyang, tuan akan sihat, insya-Allah. Kita tak perlu hospital!"

"Bodoh, kalau macam tu, macam mana nak rawat pesakit kencing manis macam aku ini ?" leternya perlahan-lahan. "Penyakit kencing manis? Tuan menghidapnya? Saya ada baca buku perubatan edisi tahun 1990 dulu. Sekarang penyakit tu dah tak ada siapa menghidapnya....."

"Batalkan saja oder saya tadi, banyak sangat cakap, boring. Saya perlu hiburan sekarang ...Di mana boleh saya boleh dapatkan hiburan?" tanyanya. "Di sana,tuan. Melalui butang pada sistem komputer di sebelah sana, tuan boleh dapat apa saja hiburan yang menyegarkan. Tak payah risau pasal bil. Percuma.

Datuk Dr. Johar, orang besar negara, melangkah hebat ke tempat yang ditunjukkan. Berbagai -bagai butang dengan bermacam warna berkelip-kelip. Sangat rumit tapi kekeliruan itu dapat disembunyikannya. Dia malu kalau-kalau dengan pakaian jenama Pierre Cardinnya ia masih kelihatan kolot.. Entah di mana falsafah moden Datuk Dr. Johar. Pada pakaiannyakah atau otaknya?

Diberanikan hatinya; satu butang warna hitam ditekan. Dalam skrin timbul tajuk besar- KHAUF. Apa bendanya ni? Kemudian menyusul nama-nama lagu: MATI ITU TERLALU SAKIT, ALAM BARZAKH YANG PASTI, MIZAN NOKTAH PENYESALAN, IZRAEL DATANG TIBA-TIBA.

Seram sejuk tubuhnya.

"Apa nama lagu macam ini? Biarlah menaruh harapan sikit. Hatiku macam kristal, boleh pecah dengan lagu-lagu macam tu. Aku belum nak mati lagi," protes hati Datuk Dr.Johar. Dia beralih ke butang hijau tanpa lengah terus menekannya. Tertera di atas skrin komputer: 'RAJA'. Kemudian tersembul tajuk-tajuk lagu. Dibacanya dengan teliti... FIRDAUSI MELAMBAIMU, DEMI CINTA DAN RAHMAT-NYA, KEINDAHAN JANNAH YANG ABADI..

Kepala datuk Dr. Johar makin pusing. Semuanya tentang Akhirat. "Apa nak jadi ni?Tak ada lagu yang hot sikit ke?" tanyanya kepada seorang anak muda berjubah coklat di sebelahnya.

"Nanti ya pakcik. Saya pilihkan lagu yang paling hot sekarang ni. Top-hit anak-anak muda sekarang..."
"Ya, ya saya setuju," balas Datuk Dr. Johar. Telinganya dihalakan kepada sistem suara di dinding restoran itu. Dia ingin dengar lagu-lagu kegemaran muda-mudi daerah asing itu.

"Eh ...Ni suara orang mengaji."
"Nanti dulu pakcik, selepas ni ada terjemahannya kemudian baru menyusul lagunya," kata pemuda berjubah cokat itu sambil matanya di tutup rapat-rapat. Asyik sekali dia. Kemudian getaran suara bergema....

Cintaku berlabuh di persada rahmat
Mumendamba kasih yang tidak berhujung
Mengutip sayang di hamparan cinta suci
Inilah getaran hatiku memburu cinta.......
Stanza hati merindu Ilahi!

Datuk Dr. Johar tak tahan lagi. Ia merengus dan pergi ke kaunter bayaran.

"Maaf tuan, duit ini duit lama. Kalau tuan tak mampu bayar kami halalkan sajalah ..." Datuk Dr. Johar makin geram. Dia menderam dan berkata, "saya bayar dengan kad kredit saja!" Dia hulurkan kad kredit warna keemasannya.

"Maaf sekali lagi, tuan. Kad kredit ini tidak boleh kami terima, kami halalkan sajalah."
"Tak, pantang saya minta sedekah. Saya ada harta simpanan berbungkal-nungkal emas di bank. Takkan saya nak bawa, nanti disambar pencuri."
" Darul Taqwa tak ada pencuri, tuan. Pencuri terakhir telah dipotong tangannya 30 tahun yang lalu ketika minta dihukum di hadapan hakim kerana takutkan seksa Neraka."
"Ah, aku tak nak dengar semuanya. makin gila aku dibuatnya," pekik Datuk Dr. Johar lantas meluru keluar dari restoran itu.

Di luar,semua pandangan menyakitkan hati. Mengapa orang kolot ini mentadbir teknologi begini tinggi. Pemandu bullet train berserban merah tersenyum kepadanya. Pilot helikopter dengan tulisan 'MAKRUFAT AIRTRANSPORT' sibuk dengan urusannya. Di papan itu terpampang gambar seorang lelaki dan perempuan berserta anak-anak meraka. Semuanya berserban, berjubah dan berpurdah. Di jalan-jalan raya suasana meriah dengan salam dan senyum. Baginya,semua itu seolah-olah menyindir dan mengejek. Kenapa jadi begini? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa?

Datuk Dr. Johar tiba-tiba menjerit. Tekanan dalam jiwanya yang kian tersumbat itu tiba-tiba meletus. "Datuk..!Datuk..! Bangun, Datuk. Ada berita buruk !" kata pembantunya.

Datuk Dr.Johar bangun. Ia tertidur sewaktu menunggu keputusan pilihanraya hari itu.

"Kenapa? Parti kita kalah? Aku kalah? "tanya Datuk Dr.Johar.

"Maaf Datuk. Begitulah keutusannya" jawab pembntu itu.

Datuk Dr. Johar seakan tidak percaya. Digosok-gosok lagi matanya.